SINGKAWANGKITA – Pada perhelatan Festival HAM 2023 di Kota Singkawang, Selasa (17/10/2023), Komnas HAM RI menggelar Pleno I yang bertemakan “Peranan Negara dalam Menciptakan Masyarakat Indonesia yang Adil, Toleran, dan Inklusif” di Ballroom Mahkota Hotel Singkawang.
Dalam pengarahannya oleh Gatot Ristanto sebagai Moderator, acara tersebut melibatkan tiga Pembicara, termasuk Ketua Komnas HAM RI, Pelaksana Tugas Wali Kota Singkawang, dan Direktur Setara Institute.
Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro, menjelaskan situasi dan tantangan yang dihadapi dalam menjalankan HAM di Indonesia. Dia memaparkan data mengenai jumlah keluhan pelanggaran HAM dari tahun 2019 hingga 2022. Hasilnya, tahun 2022 mencatatkan jumlah pelanggaran HAM tertinggi sebanyak 3190 kasus.
Terkait jenis keluhan HAM yang paling sering dilaporkan, terdapat tiga parameter utama yang mendominasi keluhan masyarakat, yakni Hak atas kesejahteraan dengan 993 laporan, hak mendapatkan keadilan sebanyak 987 laporan, dan hak untuk merasa aman dengan 242 laporan.
Penting untuk diketahui bahwa dalam upaya menegakkan HAM di Indonesia, Komnas HAM masih dihadapkan pada dinamika dan tantangan yang terus berubah.
Kasus intoleransi terhadap kelompok minoritas, seperti ras, etnis, agama, gender, dan disabilitas, masih menjadi masalah besar yang perlu segera diatasi demi menciptakan masyarakat yang adil, toleran, dan inklusif.
“Kami ingin menyoroti data keluhan tentang intoleransi berdasarkan ras, etnis, agama, gender, dan disabilitas. Pada tahun 2019, kami menerima 13 laporan, lalu jumlahnya meningkat secara signifikan menjadi 20 laporan pada tahun 2020, dan 16 laporan pada tahun 2021. Ini menjadi perhatian bersama, terutama karena kasus semacam ini dapat memicu konflik, kerusuhan, bahkan kekacauan di suatu daerah,” ungkapnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Wali Kota Singkawang, Sumastro, mengkonfirmasi apa yang disampaikan Ketua Komnas HAM RI. Ia juga berbicara sedikit mengenai sejarah kelam yang pernah melanda Kota Singkawang, seperti Tragedi Mangkok Merah (1967), Kerusuhan Sambas (1999), dan Demo Patung Naga (2010), yang telah menjadi pelajaran berharga dalam sejarah kota Singkawang.
Dengan tekad yang sama untuk mencegah peristiwa serupa terulang di masa depan, masyarakat Singkawang terus berupaya memperbaiki kehidupan mereka demi mewujudkan masyarakat yang adil, toleran, dan inklusif sehingga mereka bisa diakui sebagai Kota Tertoleran di Indonesia.
“Kami di sini (Singkawang) pernah mengalami masa lalu yang kelam akibat intoleransi, dan itu telah membuat kami sadar akan pentingnya saling menghargai dan menghormati perbedaan, serta mengambil langkah-langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang adil, toleran, dan inklusif,” ungkapnya.
Selanjutnya, Sumastro juga menjelaskan tindakan-tindakan penting yang telah diambil Pemerintah untuk menciptakan Singkawang yang adil, toleran, dan inklusif, termasuk:
Menjamin kebebasan berpendapat dan beragama.
Memastikan seluruh warga memiliki akses yang sama terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.
Kota Singkawang berkomitmen memberikan jaminan kesehatan (BPJS) dan jaminan ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) kepada seluruh masyarakat.
Memastikan tidak ada diskriminasi dalam penyediaan kebutuhan dasar, pelayanan, serta aktivitas sosial dan ekonomi lainnya.
“Ini adalah langkah-langkah penting yang telah kami ambil dan telah membantu Kota Singkawang menjadi Kota Tertoleran di Indonesia,” pungkasnya.